A. Antara
Bahaya Dan Kesempatan
Dalam kalangan orang Kristen kata “Misi” berkembang dengan pesat
sejak tahun 1950-an. Kelompok yang pertama sekali menggunakan kata “Misi”
adalah kelompok kaum Yesuit dari kalangan Katolik Roma. Hal ini bersamaan
dengan ekspansi yang dilakukan colonial di daerah jajahan mereka. Ada beberapa
hal secara teologis yang dapat diartikan sebagai misi yaitu: Pertama, para misionaris yang
bekerja di lahan pekabaran injil. Kedua, serangkaian pelayanan yang khusus
dimaksudkan untuk memperdalam atau menyebarkan iman Kristen dan ketiga,
penyebaran injil di dunia Non-Kristen
Terkadang kita memahami seseoranglah yang mengutus orang lain
untuk pergi ke suatu tempat untuk melakukan tugas pengabaran injil, tetapi
dipihak lain tanpa kita sadari Allah lah pengutus tiap-tiap orang yang menjadi
misionaris. Jadi kekuasaan seharusnya terletak pada Allah bukan pada manusia. Dalam
pelaksanaan misi begitu banyak hambatan dan tantangan yang terjadi. Dan hal ini
terjadi bukan hanya dari luar saja tetapi tidak sedikit tantangan ini berasal
dari dalam (para misionaris). Sehinggan salah satu misionaris yang bernama
James Heissig (1918), dia menulis dalam jurnal misiologi, dia menggambarkan
misi Kristen sebagai “Perang yang egois”. Dari hal ini jika teologi adalah
suatu laporan refleksi tentang iman maka teologi bertugas secara kritis
mempertimbangkan misi sebagai salah satu ungkapan iman Kristen. Gereja juga
jarang menyadari bahwasanya seharusnya gereja mampu hidup krisis, dalam artian
gereja membutuhkan kegagalan-kegagalan yang mampu membuat geraja semakin kuat
dan tangguh, dan mampu benar-benar hidup untuk misinya yang sebenarnya. Dari
kekerisisan yang
terjadi tersebut di tengah-tengah Gereja
maka kita harus menyadari hal itu akan membuat gereja menjadi sebuh gereja yang
sejati. Sejumlah kalangan mengkritik misi tradisional yang dilakukan ini. Dalam
sebuah konferensi Dewan Misi Internasional (IMC) di Tambaran 1938 merumuskan
bahwa: secara sempit orang harus mengatakan bahwa gereja selalu berada di dalam
krisis dan bahwa kekurangannya yang paling besar adalah bahwa hanya
kadang-kadang saja gereja menyadari hal tersebut. Hal ini menyatakan bahwa jika
gereja mengalami krisis berarti juga mengalami kemungkinan untuk menyadari
gereja yang sejati.
B. Krisis
Yang Lebih Luas
Krisis yang dimaksudkan dalam bagian ini bukanlah hanya dalam misi
melainkan di dalam teologi Kristen, Gereja bahkan Dunia. Krisis tersebut
menempatkan dirinya dalam faktor-faktor berikut:
Ø Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan proses sekularisme
yang membuat iman kepada Allah berlebihan.
Ø Di samping wilayah kekeristenan pertama barat juga menjadi
basis terbesar pengkristenan. Atau lahan misi modern dan secara berlahan-lahan
tetapi dengan tetap mengalami kekristenisasian.
Ø Beberapa faktof yang menyebabkan kekristenan tidak dapat
dipisahkan dengan wilayah non-kristen. Dan orang-orang dari kepercayaan lain
tampak lebih aktif dan agresif dari pada orang-orang Kristen.
Ø Adanya perbedaan warna kulit di tengah-tengah masyarakat dan
gereja. Sehingga sulitnya memberi pertanggung jawaban pengharapan kepada
orang-orang tersebut dari orang-orang percaya.
Ø Kenyataan bahwasanya manusia hidup berbagai macam situasi. Ada
yang kaya dan ada yang miskin, orang miskin menganggap gereja hanya kepunyaan
orang kaya. Dan realitanya orang kaya enggan atau sulit berbagi dengan orang
miskin. Satu hal lagi muncul perkataan yang kaya makin kaya dan yang miskin
makin miskin.
Ø Begitu banyak teologoi-teologi yang muncul pada dunia barat,
sehingga ini mempengaruhi ketidakpastian-ketidakpastian di kalangan Gereja,
bahkan tentang ketidakpastian misi Kristen.
Dari berbagai peristiwa dan kejadian-kejadian yang telah terjadi
kita tidak bisa hanya melihat sisi negatif dari setiap kejadian tersebut.
Tetapi kita juga harus mampu melihat hal positif dari setiap kejadian yang
telah terjadi. Segala sesuatu yang telah terjadi adalah akibat dari pergeseran
paradigma
misi yang dasariah,
bukan hanya di dalam misi atau teologi, melainkan juga di dalam pengalaman dan
pemikiran seluruh dunia. Oleh karena itu teologi barat di masa kini dicurigai
di banyak bagian dunia. Teologi ini sering kali dianggap tidak relevan,
spekulatif dan merupakan produk lembaga-lembaga menara gading. Hal ini menimbulkan
banyaknya teologi yang keluar dari berbagai Negara yang sesuai dengan keadaan
mereka.
C. Dasar,
Sasaran Dan Hakikat Misi
Tinjuan ini bermaksud agar gereja senantiasa memperbaharui diri
dengan bercermin pada sejarah. Bercermin pada sejarah, nampak bahwa gereja
senantiasa jatuh pada suatu kecenderungan triumfalistis yang sebenarnya
sementara mengasingkan gereja dari semangat aslinya dan juga menggiring gereja
pada kekeliruan. Untuk itu gereja perlu untuk kembali pada semangat Yesus dari
Nazaret yang tanpa kenal lelah berjalan keliling sambil mengajar dan berbuat
baik. Tambahan pula bahwa Yesus yang sama juga berani mengalami salib demi
pembebasan manusia. Dalam ranah ini, maka gereja harus berani untuk menempuh
krisis menuju transformasi yang lebih kreatif.
Berkaitan dengan transformasi misi gereja dalam masyarakat
perkotaan, maka beberapa gagasan kontributif dapat diberikan. Dengan meminjam
kesimpulan kawan-kawan “Pertumbuhan Gereja” ketika menganalisa permasalahan
misi dalam jemaat perkotaan, maka gagasan kontribusi ini bagi sikap misi gereja
adalah:
v Kritikan
Atheis mengingatkan gereja untuk menekankan misi yang mendunia dan humanis.
Gereja dan dunia bukan sekedar dua realitas yang berdampingan, tetapi dua segi
hidup manusia di hadapan Allah. Yesus memanggil gereja dari dunia dan
mengutusnya ke dalam dunia demi melanjutkan tugas penyelamatan Yesus. Dengan
kata lain, kehadiran misi adalah menjalankan misi Allah dan bukan misi gereja.
v Misi
kemanusiaan gereja adalah misi keberpihakan pada kaum miskin dan tertindas yang
dinyatakan dalam aksi dan solidaritas sosial. Kegiatan sosial gereja tidak
sekedar bersifat kedermawaan, membalut luka, karitatif, melainkan membasmi akar
penderitaan. Aktivitas sosial gereja harus berbasis pada dasar spiritualitas
yang kuat sebagai konsekwensi iman, cahaya injil di tengah masyarakat, atau
dalam bahasa Eka Darmaputera adalah “mengkristuskan”. Bila tidak maka gereja
tidak beda dengan aktivis sosial lainnya. Di sini gereja harus memiliki nilai plus,
lebih dari sekedar pekerja social.
v Gereja
perlu berbenah diri dari sikap kaku-formalistis kepada penataan yang
adaptis-aspiratif, di mana lembaga gereja perlu menciptakan iklim yang kondusif
agar segenap anggotanya sanggup menghayati imannya secara bebas dan
bertanggungjawab tanpa terintimidasi.
v Terakhir
dan terpenting adalah gereja harus sadar dan sanggup mengakui kesalahannya.
Dengan mengakui kesalahannya maka gereja senantiasa memperbarui diri ke arah
yang lebih baik, sebagaimana semboyan gereja: “Ecclesia semper
reformanda”- gereja selalu dan harus terus-menerus harus direformasi.
D. Dari
Keyakinan Ke rasa Tidak Enak
Keyakinan-keyakinan yang dirasakan oleh para misionaris adalah
keyakinan-keyakinan yang kosong. Dalam artian segala sesuatu yang dilakukan
segalanya menjadi ke rasa tidak enak. Misi selalu digabungkan dengan sesuatu
yang bersifat tradisional dan tidak sedikit yang terjun keperoyek-peroyek yang
efesien dan lembaga-lembaga sekuler. Alkitab memerintahkan untuk menyebarkan
kebenaran Allah keseluruh dunia. Kesalahan pengkhotbah hanyalah memberitakan
dan memperhatikan hukuman yang kekal tanpa peduli dengan yang sekarang.
Pujian-pujian banyak tertuju pada para misionaris, tetapi orang bertanya-tanya
apakah mereka memberikan suatu pemecahan dalam jangka panjang. Jika leluhur
kita dahulu tidak menyadari ke krisis-an yang terjadi maka pada priode sekarang
yang sudah mengetahuinya dan tidak juga sadar maka tidak akan di ampuni.
Hak orang kristen untuk memberitakan agama mereka tidak
terbantahkan karena dengan jelas Alkitab memerintahkan kita melakukan misi
dunia. Bahkan menyebutkannya saja bahwa ada suatu krisis yang hakiki dalam misi
akan sama dengan membuat pengakuan terhadap teologi liberal dan meragukan keabsahan iman yang kekal
yang di teruskan kepada kita. Semangat dedikasi dan misi yang mengorbankan diri
yang terbukti di kalangan-kalangan ini terbukti harus di puji. Para leluhur
rohani kita mungkin dapat diampuni karena tidak menyadari kenyataan bahwa
mereka menghadapi suatu krisis. Kelanjutan arus misi satu arah dari barat ke
dunia ketiga dan pemberitaan Injil yang tampaknya tidak banyak berminat
terhadap kondisi-kondisi yang dialami oleh orang banyak karena kepedulian para
pengkhotbah hanyalah untuk menyelamatkan jiwa dari hukuman yang kekal.
E. Misiologi
Dalam “Versi Ganda”
Sekali lagi ditekankan krisis adalah tempat bertemunya bahaya dan
kesempatan. Banyak orang hanya melihat pada satu sisi saja dan terjebak dalam
sisi yang lainnya yang hanya menyadari bahayanya dan oleh karena itu menjadi
lumpuh sehingga mereka mengundurkan diri. Namun kita harus dapat bersikap adil
terhadap panggilan yang agung apabila kita mengakui kehadiran kedua-duanya.
Dimana bahaya dan kesempatan dan melaksanakan misi kita di dalam bidang
ketegangan yang dilairkan oleh keduanya. Tetapi kita dituntut harus dapat
melihat keduannya dan siap menghadapi keduannya dan siap menjalankan misi kita
di dalam kedua ketegangan tersebut. Kita membutuhkan sebuah visi untuk
menerobos segala sesuatu yang akan terjadi
Hendrik berkata kita harus mengenali sebuah krisis dalam misi
bahkan suatu “impasse” namuan katanya “kita tidak berdiri pada ujung misi”;
sebaliknya “kita berdiri pada titik akhir suatu era misi yang pasti dan semakin
jelas kita menyedari hal ini dan menerimannya dengan sepenuh hati, semakin
baik”. Kita terpanggil untuk “tugas perintisan” yang baru yang akan semakin
menuntut dan kurang romantik dibandingkan dengan misi yang lampau.
Namun berbagai Teologi tentang misi yang berbeda-beda itu tidak
dengan sendirinya saling menolak yang lainnya, mereka merupakan mosaik aneka
warna yang saling melengkapi dan memperkaya serta kerangka-kerangka acuan yang
saling menantang. Dari pada berusaha merumuskan satu pandangan tentang misi
yang seragam seharusnya kita berusaha menggambarkan wajah dari missiologi jamak
di dalam misi versi tunggal.
F. Misi:
Sebuah Defenisi Sementara
Iman Kristen, pada hakikatnya bersifat
misionaris. Dimensi iman Kristen bukanlah suatu pilihan mana suka:
kekristenan pada hakikatnya bersifat misionaris, atau menyangkali raison
detre-nya sendiri. Iman kristen misalnya memandang semua keturunan di bumi
adalah merupakan objek dari kehendak Allah yang menyelamatkan dan rencana keselamatanNya
atau dalam istilah perjanjian Baru menganggap bahwa pemerintahan Allah yang
telah datang didalam Yesus Kristus di maksudkan untuk seluruh umat manusia.
Dimensi iman kristen ini bukanlah suatu pilihan tapi kekristenan pada
hakikatnya bersifat misioner.
Misiologi sebagai cabang dari disiplin teologi
Kristen, bukanlah suatu usaha yang memihak atau netral, tapi sebaliknya
misionaris memandang dunia dari perspektif komitmen terhadap iman Kristen. Dari
hal ini kita perlu menempatkan misi Kristen pada analisa dan penelitian yang
ketat.
Misi tidak dapat didefenisikan, misi sekali-kali
tidak boleh dipenjarakan dalam batas-batas yang sempit dari prasangka-prasangka
kita sendiri.
Misi Kristen mengungkapkan hubungan yang dinamis
antara Allah dan dunia, khususnya sebagaimana digambarkan dalam kisah umat
perjanjian yaitu Israel dan kemudian puncaknya yaitu kelahiran, kematian,
kebangkitan dan pemulihan Yesus dari Nazaret. Pengkomunikasian diri Allah di
dalam Yesus Kristus.
Alkitab tidak boleh diperlakukan sebagai gudang
kebenaran yang dari padanya kita dapat mengambil sesuka hati kita. Kitab suci
memberikan kepada kita jalan masuk dan member kta cetak biru yang dapat kita
gunakan dalam segala situasi. Dan ketahuilah keterlibatan gereja dalam misi
tetap merupakan tindakan iman tanpa jaminan-jaminan duniawi.
Keseluruhan keberadaan Kristen harus dicirikan
sebagai keberadaan missioner. Gereja mulai menjadi missioner bukan melalui
pemberitaannya yang universal tentang injil, melainkan melalui universalitas
injil yang diberitakannya.
Secara teologis “Misi-misi luar negeri” bukanlah
suatu keberadaan yang terpisah. Identifikasi dan pembentukan misi-misi luar
negeri terletak di dalam universalitas keselamatan dan pemerintahan Kristus
yang tidak terbagi-bagi. Perbedaan antar misi dalam dan luar negeri bukanlah
suatu perbedaan principal melainkan perbedaan batasan (Scope). Sifat gereja
yang misioner tidak hanya tergantung pada dimana gereja menemukan dirinya pada
suatu saat tertentu melainkan berakar didalam injil itu sendiri.
Kita telah membedakan misi (Tunggal) dan
misi-misi (Jamak). Yang pertama dan terutama harus mengacu pada mission Dei
(Misi Allah) artinya pernyataan diri Allah sebagai Dia yang mengasihi dunia,
keterlibatan Allah dengan dan di dalam dunia, sifat dan kegiatan Allah, yang
merangkul Gereja dan Dunia serta dimana Gereja mendapatkan kesempatan istimewa
untuk ikut serta.
Tugas misi itu sama utuh, luas dan mendalamnya
seperti kebutuhan dan tuntutan-tuntutan kehidupan manusia. Manusia hidup dalam
serangkaian hubungan yang terintegrasi, sehingga kita dapat menyebut suatu
antropologi dan sosiologi palsu bila rohani atau pribadi dipisahkan dari materi
dan sosial.
Misi mencakup penginjilan sebagai salah satu
dimensinya yang esensi. Penginjil adalah pemberitaan injil kepada orang-orang
yeng belum percaya kepada-Nya dan membawa mereka kepada pertobatan yang tulus.
Sehingga misi adalah jawaban “Ya” Allah kepada dunia, dimana jika kita
berbicara tentang Allah maka sudah tersirat dunia sebagai panggung aktifitas
Allah.
Misi juga jawaban “tidak” oleh Allah kepada
dunia. Namun jawaban “tidak” dari Allah kepada dunia tidak menunjukkan dualisme
seperti halnya jawaban “ya” oleh Allah tidak menyiaratkan kesinambungan yang
tidak terputus antara dunia ini dan pemerintahan Allah.
Misi mencakup penginjilan sebagai
salah satu dimensinya yang esensial. Penginjilan adalah pemberitaan keselamatan
di dalam Kristus kepada mereka yang tidak percaya kepada-Nya, memanggil mereka
untuk bertobat dan meninggalkan hidup yang lama, memberitakan pengampunan dosa
dan mengundang mereka untuk menjadi anggota-anggota yang hidup dari
komunitas Kristus di bumi dan untuk memulai kehidupan pelayanan kepada orang
lain di dalam kuasa Roh Kudus.
II. BAB
I. REFLEKSI TERHADAP PERJANJIAN BARU SEBAGAI DOKUMEN MISI
Bosch mengatakan bahwa Perjanjian Baru harus
dipahami sebagai dokumen missioner. Dari Perjanjian Baru misi ditentukan oleh
pengetahuan bahwa jam eskatologis telah menyingsing, sambil membawa keselamatan
dalam jangkauan semua orang dan membawa keselamatan dalam jangkauan semua orang
dan membawanya pada penggenapannya yang terakhir. Suatu telaah yang cermat
terhadap Perjanjian baru dan gereja mula-mula mungkin menolong kita untuk
semakin jelas memahami misi di masa lampau dan apa artinya di masa kini. Bosch
membatasi refleksinya pada matius, Lukas-Kisah para rasul dan kitab-kitab
Paulus. Karena itu semua sudah mewakili praktek misi dalam era sekarang
ini. Matius, kitab ini memuat mengenai amanat agung yang dapat
menjangkau bangsa-bangsa di seluruh dunia. Lukas-Kisah para
Rasul, kitab ini memuat pembuktian yang memuat keatuan yang hakiki
antara misi Yesus dan misi gereja yang mula-mula. DanSurat-surat
Paulus, menceritakan tentang perjalanan misi Rasul kepada orang yang
bukan Yahudi.
III. BAB
II. MATIUS MISI SEBAGAI PROSES PEMURIDAN
Bagi Matius, kemuridan misioner menyingkapkan
dirinya dalam ketegangan yang kreatif antara kedua penekanan yang mempunyai
konsekuensi-konsekuensi yang lebih luas pemahamannya tentang misi. Dalam
pengembangan paradigma missionernya, Matius adalah orang yang tradisional
sekaligus inovatif. Jadi bagi matius menjadi Murid berarti melaksanakan
ajaran-ajaran Yesus, yang telah dicatat oleh si penulis Injil secara terinci di
dalam Injilnya. Menurut Amanat Agung, Matius tidaklah mungkin melakukan
pemuridan tanpa menyuruh mereka mempraktikkan panggilan Allah untuk melakukan
keadilan bagi yang miskin. Perintah mengasihi, yang merupakan dasar
satu-satunya bagi ketelibatan gereja di dalam politik, adalah bagian yang
integral dari perintah misi. Istilah-istilah yang digunakan dalam hubungan ini
mencakub sebagai berikut, “mengutus”, “pergi”, “memberikan”, “menyembuhkan”.
“mengusir Roh-roh”, “mendamaikan”, “bersaksi”, dan “menjadikan Murid”.
IV. BAB
III. LUKAS-KISAH PARA RASUL MEMPRAKTIKKAN PENGAMPUNAN DAN SOLIDARITAS KAUM
MISKIN
Lukas membuat suatu keprihatinan dengan
masalah-masalah sosial yagn ditulisnya; dengan roh-roh dan kuasa-kuasa jahat
dalam masyarakat abad pertama yang merampas kehormatan dan kepribadian,
penglihatan dan suara, serta roti dari kaum perempuan, laki-laki dan anak-anak
dan berusaha menguasai hidup mereka demi keuntungan pribadi, dengan egoisme dan
perhambaan orang-orang itu sendiri dan dengan janji-janji dan
kemungkinan-kemungkinan bagi kaum miskin dan terbuang. Semua yang mengalami
penderitaan, dalam pengertian yang sesungguhnya adalah orang miskin. Bahkan ada
yang dikatakan Lukas tentang orang kaya dimana digambarkan sebagai orang yang
serakah, yang menghisap orang miskin, yang begitu sibuk mencari uang
hingga mereka bahkan tidak mempunyai waktu untuk menerima undangan untuk
menghadiri perjamuan (Luk.14: 18). Lukas dengan lugas mengatakan “celakahlah
kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh
penghiburanmu, celakalah kamu yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan
lapar, celakalah kamu, yang sekarang tertawa, karena kamu akan
berdukacita dan menangis.” Perkataan Yesus dicatat oleh Lukas sendiri “Roh
Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik
kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku”
V. BAB
IV. MISI DALAM PAULUS: UNDANGAN UNTUK BERGABUNG DENGAN KOMUNITAS ESKATOLOGIS
Paulus ketika dipanggil Allah untuk melayani
dimulai hendak perjalanan ke Damsyik, karena itu dia telah dipersiapkan
sebelumnya. Walaupun Paulus seorang pembantai orang Kristen dulunya, tapi
sekrang sangat berbeda karena Paulus telah mengalami pertobatan. Dengan latar
belakang pendidikan Paulus yang sangat tinggi sehingga membuatnya menjadi
terkenal, ketika dia melakukan misinya. Adapun yang menjadi strategi misi
Paulus adalah dengan cara berkhotbah keliling. Contohnya ada ungkapan Paulus
dalam sebuah nats menjelang akhir suratnya kepada jemaat di Roma. “namun,
karena kasih karunia yang telah dianugerahkan Allah kepadaku, aku disana-sini
dengan agak berani telah menulis kepadamu untuk mengingatkan kamu, yaitu bahwa
aku boleh menjadi pelayan Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi dalam
pelayanan pemberitaan injil Allah, supaya bangsa-bangsa bukan Yahudi dapat
diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepadaNya, yang disucikan
oleh Roh Kudus. Jadi dalam Kristus aku boleh bermegah tentang pelayananku bagi
Allah. sebab aku tidak berani berkata-kata tentang sesuatu yang lain, kecuali
tentang apa yang telah dikerjakan Kristus atasku, yaitu untuk memimpin
bangsa-bangsa lain kepada ketaatan, oleh perkataan dan perbuatan, oleh kuasa
tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh Roh kudus. Demikianlah dalam
perjalanan keliling dari Yerusalem sampai ke Ilirikum aku telah memberitakan
sepenuhnya injil Kristus. Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap sebagai
kehormatanku, bahwa aku tidak melakukannya di tempat-tempat, dimana-mana
Kristus telah dikenal orang, supaya aku membangun tidak diatas dasar, yang telah
diletakkan orang lain tetapi sesuai dengan apa yang tertulis “mereka, yang
belum pernah menerima berita tentang dia akan melihat dia dan mereka belum
pernah mendengarnya akan mengertinya”. Visi missioner Paulus bersifat mendunia,
setidak-tidaknya sehubungan dengan dunia yang dikenal olehnya.
Dalam menggambarkan ciri-ciri teologi misi
Paulus, kita harus melangkah melampaui apa yang telah disebut sebagai strategi
dan motivasi misinya. Apokaliptik sering kali dicirikan oleh tanggapan bahwa
masa kini tidak berarti dan bahwa seluruh keselamatan terletak hanya di masa
mendatang. Keputusasaan dan kekeceawaan yang dialami orang masa kini mendorong
mereka merindukan penebusan total di masa mendatang, yang biasanya dipahami
akan segera datang dan dapat diperhitungkan. Adapaun yang menjadi ciri-ciri
paradigma misi Paulus adalah:
1. Gereja sebagai
paguyuban baru
2. Misi kepada orang
Yahudi
3. Misi di dalam
konteks kemenangan Allah yanga akan segera datang
4. Misi dan
transformasi masyarakat
5. Misi dalam
kelemahan
6. Tujuan
misi
VI. BAB
V. PERUBAHAN-PERUBAHAN PARADIGMA DALAM MISSIOLOGI
Bosch mengutip pandangan Hans Kung yang mengatakan ada
enam paradigma utama tentang sejarah kekristenan antara lain:
1. Paradigma apokaliptik
dari kekristenan pertama
2. Paradigma helenis
dari periode bapa gereja
3. Paradigma katolik
Roma abad pertengahan
4. Paradigma protestan
(reformasi)
5. Paradigma pecerahan
modern
6. Paradigma oikumenis
yang sedang muncul
Bosch mengatakan bahwa bahwa kita tidak dapat
menembus ke dalam Injil yang murni tanpa dipengaruhi konteks, budaya, manusiawi
dan yang lainnya. Adanya perubahan-perubahan paradigma misi karena berbedanya
setiap penafsiran yang dilakukan terhadap Alkitab. Dan penyataan Allah juga
berbeda dimana dipengaruhi oleh banyak sekali faktor. Termasuk tradisi
gerejawi, konteks pribadinya (jenis kelamin, usia, status perkawinan,
pendidikan), kedudukan sosial (kelas sosial, pekerjaan, kekayaan, lingkungan),
kepribadian dan budaya (pandangan dunia, budaya dan lain-lain). Secara
tradisional kita telah mengenal keberadaan (meskipun mungkin validitasnya
tidak) hanya dari faktor yang pertama yakni, perbedaan-perbedaan yang
disebabkan oleh tradisi-tradisi gerejawi.
Gereja dalam misinya pada saat ini ditantang
oleh beberapa faktor antaralain:
1. Barat, yang selama
ini lebih dari seribu tahun telah menjadi rumah bagi kekristenan dan dalam arti
yang sungguh-sungguh diciptakan oleh kekristenan, telah kehilangan posisinya
yang dominan di dunia. Orang-orang di semua bagian dunia berjuang demi
pembebasan dari apa yang dialami sebagai cekikan Barat.
2. Struktur-struktur
penindasan dan ekploitasi di masa kini di tantang lebih daripada yang
sudah-sudah di dalam sejarah umat manusia. Perjuangan-perjuangan melawan
rasialisme dan seksisme hanyalah dua dari beberapa perwujudan dari tantangan
ini.
3. Hidup di dunia yang
semakin menciut hasil-hasil yang di dapat, dan sumber-sumber yang semakin
terbatas.
4. Kita dimasa kini tidak
hanya membunuh bumi Allah tapi juga, sekali lagi untuk pertama kalinya di dalam
sejarah mampu menghapuskan umat manusia. Bila penderitaan lingkungan ini
menyerukan tanggapan yang secara ekologis tepat, ancaman dari bencana nuklir
menantang kita untuk menjawab dengan mengusahakan perdamaian dengan keadilan.
5. Teologi di barat
tidak dapat di klaim bahwa mereka lebih unggul dari pada teologi-teologi yang
muncul di dunia lainnya.
6. Sekarang kebanyakan
orang percaya bahwa kebebasan beragama adalah salah sebuah hak asasi manusia
yang mendasar. Faktor ini bersama dengan faktor lainnya, memaksa orang kristen
untuk mengevaluasi ulang sikap mereka dan pemahaman mereka tentang agama-agama
lain.
VII. BAB
VI. PARADIGMA MISI GEREJA TIMUR
Dasar misi gereja timur adalah kasih, maka
tujuan misi adalah kehidupan. Seperti kasih kehidupan adalah sebuah thema
Yohanes 3:16. Teologi Ortodoks Timur jelas lebih diwarnai oleh tradisi Yohanes
daripada trasdisi Paulus. Kristus tidak datang terutama untuk menghapuskan dosa
manusia, tetapi untuk memulihkan gambar Allah di dalam diri manusia dan
memberikan kehidupan kepadanya. Isi pemberitaannya adalah “firman
kehidupan untuk kehidupan”. Dalam hubungan inilah maka ciri khas doktrin
Orthodoks theosis mendapatkan makna misinya. Orang dipanggil bukan semata-mata
untuk mengenal Kristus, berkumpul di sekelilingNya, atau menaati kehendakNya,
mereka terpanggil untuk ikut serta di dalam kemuliaanNya. Dalam kemuliaan yang
semakin besar, mendefenisikan proses yang dengannya orang percaya
dikuduskan dalam ke dalam kehidupan sekarang ini sampai parousia. Theosis
adalah kesatuan dengan Allah dan bukan pengilahian, ini adalah keadaan
pemuliaan, doa, pengucapan syukur, ibdah dan doa syafaat yang sinambung, serta
meditasi serta perenungan tentang Allah Tritunggal dan kasih Allah yang tidak
terbatas.
Keselamatan atau kehidupan sebagai tujuan
misi tidaklah terbatas pada manusia. Ia mempunyai dimensi kosmis. Bukan hanya
untuk manusia tapi juga seluruh alam “ikut serta dalam pemulihan ini dan
menemukan kemabali orientasinya dalam memuliakan Allah”. Salib menguduskan
seluruh alam. Allah tidak hanya mendamaikan individu tapi juga dunia, kepada
diriNya (2 Kor 5: 19) bahkan juga kuasa-kuasa alam (Kol. 1:20). Seluruh ciptaan
berada dalam proses menjadi ekklesia, bahkan ada suatu pengharapan yang
eskatologis.
VIII. BAB
VII. PARADIGMA MISI KATOLIK ROMA ABAD PERTENGAHAN
Paradigma misi katolik pada abad pertengahan
dimulai dengan suatu pertikaian antara Augustinus dengan kaum Donatis. Di situ
ia mengajukan pendapat bahwa teks ini berarti bahwa kaum Donatis harus dipaksa
untuk kembali ke kawanan katolik. Dalam perjalanan abad pertengahan teks ini
kemudian diberlakukan pula pada pertobatan paksa (atau sekurang-kurangnya pada
baptisan) terhadap orang-orang kafir dan Yahudi. Bahkan meskipun Lukas 14:23
tidak lagi dijadikan dasar secara eksplisit, gagasan semacam itu hadir dan
bekerja. Bahwa mentalitas ini mendominasi pemikiran misi selama berabad-abad
dikukuhkan bahkan sampai abad ke-16 ketika Las Casas ditantang oleh
lawan-lawannya karena pendekatan misinya yang lembut dan tidak memaksa untuk
menjelaskan bagaimana ia menafsirkan Lukas 14:23 Compellere Intrare(paksalah
orang-orang masuk), ia menjawab tidak mengacu kepada kekerasan, tapi bujukan:
orang-orang Indian harus digerakkan oleh pemberitaan Firman agar mereka memeluk
iman, dan bukan ibaratnya dengan todongan senjata. Pada abad pertenganhan
paradigma Misi yang dilakukan oleh Roma Katolik dengan sebuah semboyan “ektra
ekklesiam nulla sallus” tidak ada keselamatan di luar gereja katolik Roma.
Bosch dalam akhir bab ini mengatakan bahwa paradigma misi katolik saat ini sama
sekali berbeda dengan paradigma tradisional.
Apabila kita berbicara
tetang misi, maka ada beberapa hal yang dapat kita singgung. Misalnya adalah,
apa itu misi, metode-metodenya, model-modelnya dan tujuan-tujuan misi itu
sendiri. Jika kita membandingkan kekhasan dari beberapa hal tentang misi di
atas antara periode waktu yang dialami oleh Pater Le Cocq dan periode sesudah Konsili
Vatikan II kita akan menemukan banyak nuansa yang berbeda.
Boleh dikata, paradigma
misi yang dialami atau dikerjakan oleh Pater Le Cocq dan sahabat-sahabatnya
waktu itu adalah paradigma misi yang berdasarkan paham misi tradisional. Paham
misi tradisional itu sendiri memiliki konsep dan ciri tertentu. Misalnya saja,
pertama, misi dipahami sebagai usaha Gereja yang dilaksanakan di luar Eropa,
yang berada di bahwa wewenang dan tanggung jawab Paus. Kedua, paus mengirim
para misionaris sebagai petugas-petugas yang bertanggung jawab atas misi ke
wilayah-wilayah bukan Kristen di seluruh dinia. Ketiga, para utusan ini
terutama para biarawan-biarawati dan para imam, yang pekerjaanya sebagai
misionaris mengambil alih satu wilayah tertentu dari Kongregasi Propoganda
Fide. Wilayah ini lalu menjadi tempat, dimana mereka dapat melaksanakan
karya misi. Keempat, orang-orang yang kepadanya karya misi itu dituukan atau
dialamatkan yakni orang-orang kafir di seberang lautan. Kelima, misi bertujuan
untuk menobatkan dan mempermandikan orang-orang kafir. Dan keenam, motivasi
utama misi di antara orang-orang kafir adalah untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dan
menyebarluaskan Gereja.
Dari ciri dan konsep di atas, ciri kelima dan
keenam kelihatan paling jelas mewarnai gaya misi yang dilakukan oleh Pater Le
Cocq. Maka tidak mengherankan, ketika pada saat-saat awal ia tiba di Pulau
Cendrawasih, misalnya, dengan semangat dan insting misionarisnya, Pater Le Cocq
berusaha untuk mencari orang untuk dipermandikan dan sedapat mungkin diperkenalkan
dengan ajaran Kristiani. Tidak segan-segan Pater Le Cocq berjalan sendirian
menyusuri tempat-tempat terpencil dan bermedan sulit untuk menemukan siapa saja
untuk dibabtis. Kendati ada banyak kemungkinan buruk yang mungkin terjadi,
Pater Le Cocq tetap melakukan perjalananya. Kabar mengerikan bahwa orang-orang
Papua seringkali suka memakan daging manusia tidak menjadi alasan bagi Pater Le
Cocq untuk mengurungkan niatnya.
Tepat sebulan setelah Pater Le Cocq tiba di
daerah Sekeru ia menulis sepucuk surat, yang sebagiannya dipublikasikan dalam
majalah Berichten uit Nederlandsch Oost-Indie,
yaitu : "Pada sore hari tanggal 22 Mei aku mendarat. Hari
berikutnya, yaitu pada pesta Beato Andreas Bobola, aku pergi ke pedalaman, lalu
beruntung aku pada hari itu membabtis 8 anak; selama 10 hari aku tinggal di
sana dan membabtis 73 anak. Orang-orang penduduk bersemangat baik; mereka mau
menjadi orang Kristiani dan ingin diberi pelajaran. Mereka menyesal bahwa aku
tidak tinggal lebih lama dan memaksa aku berjanji datang kembali secepat
mungkin ‘’. Apabila kita membaca cerita semacam itu dengan menggunakan
kacamata jaman sekarang mungkin kita akan mengerutkan dahi. Baru satu hari di
Irian, Pater Le Cocq sudah membabtis 8 anak, disusul 65 lagi selama 9 hari.
Tindakan semacam itu kiranya hanya dapat dimengerti dalam konteks teologi saat
itu. Oleh banyak orang pada waktu itu, sakramen Babtis dianggap mutlak perlu
untuk mencapai surga.
Paradigma pengertian dan konsep misi pada
masa itu memang memiliki kekhasan yang berbeda dibandingkan dengan pengertian
dan tugas misi setelah Konsili Vatikan II. Oleh kerena itu tidaklah
mengherankan bahwa para misionaris pada waktu itu, juga termasuk Pater Le Cocq
begitu bersemangat untuk dapat membabtis sebanyak mungkin orang agar jiwa
mereka dapat diselamatkan.
Akhirnya, bagi Pater Le Cocq kegiatan misi
dan segala duka gembiranya perlu terus dilakukan meski diwarnai dengan perbagai
macam pergumulan. Maka tidak mengherankan bahwa semangat Pater untuk terus
menjalankan misinya degan jiwa yang besar terus berkobar. Hal itu ditandai
dengan ketidaktakutanya menyongsong segala bentuk kemungkinan buruk bahkan
kendati kematian pun yang dihadapi. Semangat semacam itu ditunjukkan dengan
jelas pada saat masa-masa akhir hidup hidup Pater Le Cocq.
IX. BAB
VIII. PARADIGMA MISI REFORMASI PROTESTAN
Orang yang menjadi katalis dalam
memperkenalkan paradigma yang baru adalah Marthin Luther. Untuk menghargai
sumbangan unik reformasi protestan terhadap pemahaman tentang misi, penting
kita menyoroti bidang-bidang yang berbeda dengan katolik. Kini saya akan
berpaling pada hal tersebut sambil mengidentifikasikan lima ciri yang mungkin
menolong kita untuk melihat kontur-kontur “teologi protestan tentang misi”
ciri-ciri yang akan ditemukan dalam sebuah perwujudan protestan abad
ke 16 Lutheran, Calvinis, Zwinglian, maupun Anabaptis.
1. Sama sekali tidak
diragukan bahwa bagi reformasi Protestan pasal pembenaran oleh iman adalah
titik tolak teologi.
2. Yang terkait dengan
sentralitas kebenaran adalah pandanga bahwa manusia terutama sekali harus
dilihat dari persfektif kejatuhan kedalam dosa, sebagai ciptaan baru yang
tersesat, tidak mampu melakukan apa pun tentang kondisi mereka.
3. Reformasi
menekankan dimensi subyektif keselamatan
4. Penegasan peranan
dan tanggungjawab pribadi individu menyebabkan penemuan kembali ajaran tentang
imamat am orang percaya.
5. Gagasan protestan
diungkapkan dalam sentralitas kitab suci, dalam kehidupan gereja.
Kelima ciri utama protestanisme ini, yang
terhadapnya beberapa ciri lain dapat pula ditambahkan, mempunyai
konsekuensi-konsekuensi penting bagi pemahaman dan perkembangan misi baik
positif maupun negtif. Tapi yang terpenting bahwa Luther khususnya harus
dianggap sebagai pemikir misi yang kreatif dan orisinal dan kita harus
membiarkan diri kita membaca Alkitab melalui mata Marthin Luther sang misolog.
Malah terhadapa usaha misi gereja ia memberikan pedoman-pedoman dan usaha-usaha
prinsip yang jelas. Titik tolak teologi para reformator bukanlah apa yang harus
atau dpat dilakukan Allah dalam Yesus Kristus. Ia mengunjungi bangsa-bangsa di
dunia dengan terangNya; Ia melanjutkan firmanNya sehingga firman itu dapat
dengan cepat berlari dan meningkat sampai hari terakhir menyingsing. Orang
dapat mengatakan bahwa bahwa Injil ini sendirilah yang memisikan dan dalam
proses ini memanggil umat manusia.
X. BAB
IX. MISI PADA AWAL ZAMAN PENCERAHAN
Pencerahan adalah zaman penalaran, dimana ada
ungkapan Descartes mengatakan Cogito Ergo Sum(saya ada ketika saya
berfikir), ini merupakan salah satu aliran filsafat eksistensialisme. Penalaran
manusia itu alamiah, artinya diperoleh dari tatanan alam dan oleh karenanya
bebas dari segala norma tradisi ataupun praduga. Dalam abad pencerahan semua dilakukan
serba mesin, dimana derajat manusia dapat diturunkan sejajar dengan mesin,
dimanipulassikan, dieksploitasi, oleh mereka yang mau menggunakannya untuk
maksud-maksud mereka. Baik kapitalisme maupun marxisme, kata Newbigin.
Mendapatkan visi pencerahan tentang manusia sebagai individu yang otonom tanpa
acuan-acuan adikodrati. Sejak zaman pencerahan cara rasionalitas yang berbeda
mulai berkuasa, nalar menggantikan iman sebagai titik tolak. Teologi dapat
dibandingkan dengan disiplin-disiplin lain, dan para ilmuan sulit untuk memberi
tempat atau ruang bagi Allah di dalam sistem-sistem mereka.
Dalam kegiatan misioner “kasih” merupakan hal
yang sangat insentif sebagai ungkapan syukur bagi Allah yang mengasihi dunia,
hingga Ia mengaruniakan AnakNya yang tunggal. Kasih ini bersama-sama dengan
keinginan untuk mengembangkan keuntungan rohani orang-orang lain dan
secara perlahan-lahan menjadi motif yang dominan. Diantara orang-orang kristen
yang tersentuh oleh kebangkitan, ada suatu perasaan syukur yang sangat mendalam
atas apa yang telah mereka terima dan keinginan yang mendesak untuk
membagikannya dengan orang lain. Di dalam misi pada awal pencerahan ini injil
dan kebudayaan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan walaupun terkadang
memang kebudayaan itu tidak selamanya menjamin tapi hal itu sudah cukup
membantu dalam hal bermisi. Gerakan misi memberikan suatu sumbangan utama dalam
menghapuskan perbudakan, menyebarkan metode-metode pertanian yang lebih baik,
mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah yang tidak terbilang jumlahnya,
memberikan pemeliharaan medis kepada jutaan orang, mengangkat status kaum
perempuan, menciptakan ikatan diantara bangsa-bangsa dari antara negara yang
tidak dapat diputuskan oleh perang, melatih suatu lapisan penting pemimpin dari
suatu bangsa yang kini baru merdeka.
Gerakan misi yang lahir telah melahirkan
sikap toleransi kepada segala bangsa dan suatu sikap yang relativistik terhadap
keyakinan apapun. Pada pihak lain hal ini melahirkan perasaan keunggulan dan
perasangka barat. Tapi kita tidak mungkin memisahkan perasaan-perasaan ini
dimana toleransi maupun intoleransi serta relativisme maupun fanatisme sering
kali ditemukan berdampingan dalam diri orang atau kelompok yang sama. Bosch
pada akhir bab ini mengatakan bahwa iman kristen pada hakekatnya bersifat
misioner. Tetapi mereka harus siap untuk merefisi teologi dan praktek misi
untuk menggeser paradigma misiologis. Bahkan suatu transformasi total sangat
dibuterbuhkan, bentuk-bentuk misi tradisional menjadi tanggapan bagi dunia yang
tidak lagi ada maupun sebenarnya kita tidak perlu menyangkal tanggapan misi
yang tradisional itu karena kita ditantang dalam cara yang sangat berbeda.
Satu-satunya pemecahan yang pada akhirnya efektif pada kelesuan misi yang
meluas sekarang ini, yang kadang-kadang tersembunyi dari mata kita karena kita
terbuai oleh apa yang kelihatannya sukses bagi misi kita tapi yang sangat
diperlukan adalah suatu transformasi radikal bagi keseluruhan kehidupan gereja.
XI. BAB
X. MUNCULNYA PARADIGMA PASCA-MODERN
Munculnya paradigma pasca modern karena
pergeseran paradigma, dimana suatu masa ketidakpastian yang mendalam, seperti
tampaknya adalah salah satu dari beberapa konstanta dari zaman kontemporer dan
salah satu faktor yang melahirkan reaksi-reaksi kuat yang lebih suka bepegang
pada paradigma pencerahan, meskipun terdapat tanda-tanda dari segala penjuru
bahwa paradigma tersebut sedang runtuh. Bahkan setelah muncul suatu zaman yang
selalu mengagungkan penalaran. Tapi pada saat ini telah berbeda dimana sudah
ada tanggapan yang mengatakan bahwa dunia akan berubah menjadi
semakin baik sampai hadirnya kerajaan Allah di bumi. Bahkan dengan pergeseran
radikal dari teologi yang nono-eskatologis kepada yang eskatologis. Begitu juga
dengan pemahaman tentang pertobatan dan perubahan agama, tentang visi dan
tanggung jawab, tentang revisi terhadap realitas-realitas dan posisi-posisi
yang sebelumnya, yang telah lama ditelan oleh logika yang mencekik dari
pemikiran sebab akibat yang kaku, telah muncul kembali dan mengilhami mereka
yang telah lama kehilangan semua harapan pada saat yang sama memberikan suatu
relevansi baru kepada misi kristen.
XII. BAB
XI. MISI DALAM MASA PERCOBAAN
Tidak dapat dijamin bahwa gereja dan teologi
dan misi kristena kan aman selamanya, hal ini dapat dilihat dari pengalaman
sebelumnya dimana ketika masa pencerahan yang selalu menalarkan firman dan
bahakan tidak lagi melihat apa yang menjadi esensi dari firman
itu. Tapi sekarang tugas untuk bermisi harus dilakukan, walaupun itu
sangat sulit dan bahkan sampai merasakan sengatan nyamuk, tapai semua orang
harus mendengarkan Injil keselamatan dari pada Tuhan. Karena itu para pekabar
Injil perlu mengganti metode pekabaran Injil tersebut supaya dapat membendung
setiap paradigma-paradigma yang muncul, yaitu paradigma yang kurang dalam
mengembangkan pekabran Injil.
XIII. BAB
XII. UNSUR-UNSUR PARADIGMA MISI OIKUMENIS YANG SEDANG MUNCUL
Dalam sebuah studi yang tajam Avery Dulles
(1976) mengidentifikasikan lima tipe utama gereja. Gereja, katanya dapat
dipandang sebgai lembaga, sebagai tubuh yang mistis dari Kristus, sebagai
sakramen, sebagai bentara, atau sebagai hamba. Masing-masing dari tipe ini
menyiratkan penafsiran yang berbeda tentang hubungan antara gereja dan misi.
Karena itu ada beberapa paradigma misi oikumenis yang amuncul antara lain;
paradigma yang mengatakan bahwa umat Allah yang berziarah, gereja
adalah peziarah bukan semata-mata karena alasan praktis bahwa dalam zaman
modern ia tidak dapat lagi menjadi penentu arah dan dimana-dimana menemukan
dirinya dalam situasi diaspora, sebaliknya menjadi pejiarah di dalam dunia pada
hakekatnya tergolong pada posisi gereja yang eks-sentris. Ia adalah ekklesia
yang dipanggil keluar dari dunia, dan diutus kembali kedunia. Sifat asing
adalah unsur dari pembentukannya. Sakramen tanda dan alat,penerimaan
yang luar biasa luas terhadap penggunaan ekklesiologis istilah-istilah
sakramen, tanda dan alatdalam perdebatan oikumenis menunjukkan bahwa istilah
ini ternyata menolong dalam menggambarkan tempat dan panggilan gereja dan
keesaannya dalam rencana keselamatan Allah.
Dalam unsur-unsur ini juga harus ditekankan
bahwa missi itu adalah sebagai missio dei, hal ini dianggap lebih universal
daripada harus melakukan misi yang eklesiosentris. Bosch juga mengatakan bahwa
misi itu sebagai perantara keselamatan. Artinya misi adalah perintah Allah dan
untuk itu harus dapat diperdengarkan oleh orang lain, supaya orang lain itu
selamat. Tugas mengidentifikasikan maksud penyelamatan Allah di tengah-tengah
peristiwa sejarah menurut kriteria teologis yang mantap, yang dengan
penilaian-penilaian kritis yang dibuat. Disini masih terdapat tugas yang sangat
penting yang harus dilaksanakan untuk memastikan bahwa kredibilitas gereja
tidak akan lenyap lagi dalam perburuan relevansi yang berumur pendek. Dalam hal
oikumenis ini misi tidak hanya diarahkan kepada pelayanan ilahi di dalam gereja
saja, tetapi juga pada pelayanan Ilahi dalam kehidupan dunia sehari-hari.
Penerapan praktisnya akan mencakup pemberitaan dan ibadah, tugas-tugas
penggemabalaan, dan peguyuban Kristen, tetapi juga sosialisasi, demokratisasi,
pendidikan menuju kemandirian dan kehidupan politik. Misi yang bersifat
oikumenis ini harus dapat menjangkau agama-agama dan yang berkepercayaan lain
dengan melakukan misi yang berisi tentang pengharapan, dan pengharapan itu yang
dapat menghantar kita untuk setia dalam pelayanan. Dan pengharapan yang
dimaksudkan adalah pengharapan yang bersifat eskatologis, kita juga harus
bersifat rendah hati untuk dapat mewujudkan missio dei tersebut.
XIV. BAB
XIII. MISI DALAM BERBAGAI CARA, APAKAH SEMUANYA MISI ITU?
Gereja dalam misinya harus dapat mewartakan
enam hal yakni, penjelmaan Kristus, kematianNya pada salib,
kebagkitanNya pada hari yang ketiga, kenaikanNya, pencurahan Roh Kudus pada
hari pentakosta dan parousia. Misi yang harus dilakukan adalah misi yang
membawa orang kepada terang Kristus. Misi itu adalah misso dei dan gereja harus
berusaha meletakkan ini sebagi dasar misinya. Tapi perlu harus digarisbawahi
bukan gereja yang mengusahakan misi, melainkan missio dei itu yangmencipatakan
gereja. Misi gereja harus terus meneruss diperbaharui dan dipikirkan
kembali. Misi bukan persaingan dengan agama lain, bukan suatu kegiatan
pentobatan, bukan perluasan iman, bukan pembangunan Kerajaan Allah; misi bukan
pula kegiatan sosial ekonomi atau politik. Namun, ada yang baik dari semua hal
itu, yang diperhatikan gereja adalah pertobatan, pertumbuhan gereja,
pemerintahan Allah, ekonomi, masyarakat dan politik tapi dalam pengertian
yang berbeda. Missio dei itu memurnikan gereja. Misi tersebut meletakkan gereja
pada salib, satu-satunya tempat dimana gereja akan selalu aman. Salib adalah
tempat bagi kerendahan hati dan penghakiman, tetapi juga tempat penyegaran dan
kelahiran kembali. Maka karena itu misi orang kristen dilihat dari misi
pembebasan Yesus, yang mempertaruhkan hidupNya. Ini adalah kabar baik kasih
Allah, yang menjelma dalam kesaksian suatu peguyuban demi dunia.
XV. KRITIK
DAN SARAN
Buku ini memang bagus untuk dibaca tapi
karena perlu perevisian ulang, mungkin karena terjemahan itu sehingga membuat
kata-kata yang terdapat di dalamnya sukar dipahami oleh peresensi, bahkan masih
terdapat kata-kata yang salah pengetikan. Tapi peresensi mengapresiasi buku ini
karena buku ini telah mengulas bagaimana transformasi misi mulai dari hal yang
tradisional sampai kepada pasca-modern. Dan yang menjadi saran dari peresensi
adalah perlu untuk merevisi kembali buku ini supaya pembaca berikutnya memahami
dan langsung dapat menangkap isi dari buku ini. Sekian dan terimakasih. Soli Deo Gloria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar