Sabtu, 10 Mei 2014


A.                 Antara Bahaya Dan Kesempatan
Dalam kalangan orang Kristen kata “Misi” berkembang dengan pesat sejak tahun 1950-an. Kelompok yang pertama sekali menggunakan kata “Misi” adalah kelompok kaum Yesuit dari kalangan Katolik Roma. Hal ini bersamaan dengan ekspansi yang dilakukan colonial di daerah jajahan mereka. Ada beberapa hal secara teologis yang dapat diartikan sebagai misi yaitu: Pertama, para misionaris yang bekerja di lahan pekabaran injil. Kedua, serangkaian pelayanan yang khusus dimaksudkan untuk memperdalam atau menyebarkan iman Kristen dan ketiga, penyebaran injil di dunia Non-Kristen
Terkadang kita memahami seseoranglah yang mengutus orang lain untuk pergi ke suatu tempat untuk melakukan tugas pengabaran injil, tetapi dipihak lain tanpa kita sadari Allah lah pengutus tiap-tiap orang yang menjadi misionaris. Jadi kekuasaan seharusnya terletak pada Allah bukan pada manusia. Dalam pelaksanaan misi begitu banyak hambatan dan tantangan yang terjadi. Dan hal ini terjadi bukan hanya dari luar saja tetapi tidak sedikit tantangan ini berasal dari dalam (para misionaris). Sehinggan salah satu misionaris yang bernama James Heissig (1918), dia menulis dalam jurnal misiologi, dia menggambarkan misi Kristen sebagai “Perang yang egois”. Dari hal ini jika teologi adalah suatu laporan refleksi tentang iman maka teologi bertugas secara kritis mempertimbangkan misi sebagai salah satu ungkapan iman Kristen. Gereja juga jarang menyadari bahwasanya seharusnya gereja mampu hidup krisis, dalam artian gereja membutuhkan kegagalan-kegagalan yang mampu membuat geraja semakin kuat dan tangguh, dan mampu benar-benar hidup untuk misinya yang sebenarnya. Dari kekerisisan yang terjadi tersebut di tengah-tengah Gereja maka kita harus menyadari hal itu akan membuat gereja menjadi sebuh gereja yang sejati. Sejumlah kalangan mengkritik misi tradisional yang dilakukan ini. Dalam sebuah konferensi Dewan Misi Internasional (IMC) di Tambaran 1938 merumuskan bahwa: secara sempit orang harus mengatakan bahwa gereja selalu berada di dalam krisis dan bahwa kekurangannya yang paling besar adalah bahwa hanya kadang-kadang saja gereja menyadari hal tersebut. Hal ini menyatakan bahwa jika gereja mengalami krisis berarti juga mengalami kemungkinan untuk menyadari gereja yang sejati.

B.                 Krisis Yang Lebih Luas
Krisis yang dimaksudkan dalam bagian ini bukanlah hanya dalam misi melainkan di dalam teologi Kristen, Gereja bahkan Dunia. Krisis tersebut menempatkan dirinya dalam faktor-faktor berikut:
Ø    Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan proses sekularisme yang membuat  iman kepada Allah berlebihan.
Ø    Di samping wilayah kekeristenan pertama barat juga menjadi basis terbesar pengkristenan. Atau lahan misi modern dan secara berlahan-lahan tetapi dengan tetap mengalami kekristenisasian.
Ø     Beberapa faktof yang menyebabkan kekristenan tidak dapat dipisahkan dengan wilayah non-kristen. Dan orang-orang dari kepercayaan lain tampak lebih aktif dan agresif dari pada orang-orang Kristen.
Ø    Adanya perbedaan warna kulit di tengah-tengah masyarakat dan gereja. Sehingga sulitnya memberi pertanggung jawaban pengharapan kepada orang-orang tersebut dari orang-orang percaya.
Ø    Kenyataan bahwasanya manusia hidup berbagai macam situasi. Ada yang kaya dan ada yang miskin, orang miskin menganggap gereja hanya kepunyaan orang kaya. Dan realitanya orang kaya enggan atau sulit berbagi dengan orang miskin. Satu hal lagi muncul perkataan yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
Ø    Begitu banyak teologoi-teologi yang muncul pada dunia barat, sehingga ini mempengaruhi ketidakpastian-ketidakpastian di kalangan Gereja, bahkan tentang ketidakpastian misi Kristen.
Dari berbagai peristiwa dan kejadian-kejadian yang telah terjadi kita tidak bisa hanya melihat sisi negatif dari setiap kejadian tersebut. Tetapi kita juga harus mampu melihat hal positif dari setiap kejadian yang telah terjadi. Segala sesuatu yang telah terjadi adalah akibat dari pergeseran paradigma misi yang dasariah, bukan hanya di dalam misi atau teologi, melainkan juga di dalam pengalaman dan pemikiran seluruh dunia. Oleh karena itu teologi barat di masa kini dicurigai di banyak bagian dunia. Teologi ini sering kali dianggap tidak relevan, spekulatif dan merupakan produk lembaga-lembaga menara gading. Hal ini menimbulkan banyaknya teologi yang keluar dari berbagai Negara yang sesuai dengan keadaan mereka.

C.                 Dasar, Sasaran Dan Hakikat Misi
Tinjuan ini bermaksud agar gereja senantiasa memperbaharui diri dengan bercermin pada sejarah. Bercermin pada sejarah, nampak bahwa gereja senantiasa jatuh pada suatu kecenderungan triumfalistis yang sebenarnya sementara mengasingkan gereja dari semangat aslinya dan juga menggiring gereja pada kekeliruan. Untuk itu gereja perlu untuk kembali pada semangat Yesus dari Nazaret yang tanpa kenal lelah berjalan keliling sambil mengajar dan berbuat baik. Tambahan pula bahwa Yesus yang sama juga berani mengalami salib demi pembebasan manusia. Dalam ranah ini, maka gereja harus berani untuk menempuh krisis menuju transformasi yang lebih kreatif.
Berkaitan dengan transformasi misi gereja dalam masyarakat perkotaan, maka beberapa gagasan kontributif dapat diberikan. Dengan meminjam kesimpulan kawan-kawan “Pertumbuhan Gereja” ketika menganalisa permasalahan misi dalam jemaat perkotaan, maka gagasan kontribusi ini bagi sikap misi gereja adalah:
v  Kritikan Atheis mengingatkan gereja untuk menekankan misi yang mendunia dan humanis. Gereja dan dunia bukan sekedar dua realitas yang berdampingan, tetapi dua segi hidup manusia di hadapan Allah. Yesus memanggil gereja dari dunia dan mengutusnya ke dalam dunia demi melanjutkan tugas penyelamatan Yesus. Dengan kata lain, kehadiran misi adalah menjalankan misi Allah dan bukan misi gereja.
v  Misi kemanusiaan gereja adalah misi keberpihakan pada kaum miskin dan tertindas yang dinyatakan dalam aksi dan solidaritas sosial. Kegiatan sosial gereja tidak sekedar bersifat kedermawaan, membalut luka, karitatif, melainkan membasmi akar penderitaan. Aktivitas sosial gereja harus berbasis pada dasar spiritualitas yang kuat sebagai konsekwensi iman, cahaya injil di tengah masyarakat, atau dalam bahasa Eka Darmaputera adalah “mengkristuskan”. Bila tidak maka gereja tidak beda dengan aktivis sosial lainnya. Di sini gereja harus memiliki nilai plus, lebih dari sekedar pekerja social.
v  Gereja perlu berbenah diri dari sikap kaku-formalistis kepada penataan yang adaptis-aspiratif, di mana lembaga gereja perlu menciptakan iklim yang kondusif agar segenap anggotanya sanggup menghayati imannya secara bebas dan bertanggungjawab tanpa terintimidasi.
v  Terakhir dan terpenting adalah gereja harus sadar dan sanggup mengakui kesalahannya. Dengan mengakui kesalahannya maka gereja senantiasa memperbarui diri ke arah yang lebih baik, sebagaimana semboyan gereja: “Ecclesia semper reformanda”- gereja selalu dan harus terus-menerus harus direformasi.
D.                 Dari Keyakinan Ke rasa Tidak Enak
Keyakinan-keyakinan yang dirasakan oleh para misionaris adalah keyakinan-keyakinan yang kosong. Dalam artian segala sesuatu yang dilakukan segalanya menjadi ke rasa tidak enak. Misi selalu digabungkan dengan sesuatu yang bersifat tradisional dan tidak sedikit yang terjun keperoyek-peroyek yang efesien dan lembaga-lembaga sekuler. Alkitab memerintahkan untuk menyebarkan kebenaran Allah keseluruh dunia. Kesalahan pengkhotbah hanyalah memberitakan dan memperhatikan hukuman yang kekal tanpa peduli dengan yang sekarang. Pujian-pujian banyak tertuju pada para misionaris, tetapi orang bertanya-tanya apakah mereka memberikan suatu pemecahan dalam jangka panjang. Jika leluhur kita dahulu tidak menyadari ke krisis-an yang terjadi maka pada priode sekarang yang sudah mengetahuinya dan tidak juga sadar maka tidak akan di ampuni.
Hak orang kristen untuk memberitakan agama mereka tidak terbantahkan karena dengan jelas Alkitab memerintahkan kita melakukan misi dunia. Bahkan menyebutkannya saja bahwa ada suatu krisis yang hakiki dalam misi akan sama dengan membuat pengakuan terhadap teologi liberal dan meragukan keabsahan iman yang kekal yang di teruskan kepada kita. Semangat dedikasi dan misi yang mengorbankan diri yang terbukti di kalangan-kalangan ini terbukti harus di puji. Para leluhur rohani kita mungkin dapat diampuni karena tidak menyadari kenyataan bahwa mereka menghadapi suatu krisis. Kelanjutan arus misi satu arah dari barat ke dunia ketiga dan pemberitaan Injil yang tampaknya tidak banyak berminat terhadap kondisi-kondisi yang dialami oleh orang banyak karena kepedulian para pengkhotbah hanyalah untuk menyelamatkan jiwa dari hukuman yang kekal.

E.                 Misiologi Dalam “Versi Ganda”
Sekali lagi ditekankan krisis adalah tempat bertemunya bahaya dan kesempatan. Banyak orang hanya melihat pada satu sisi saja dan terjebak dalam sisi yang lainnya yang hanya menyadari bahayanya dan oleh karena itu menjadi lumpuh sehingga mereka mengundurkan diri. Namun kita harus dapat bersikap adil terhadap panggilan yang agung apabila kita mengakui kehadiran kedua-duanya. Dimana bahaya dan kesempatan dan melaksanakan misi kita di dalam bidang ketegangan yang dilairkan oleh keduanya. Tetapi kita dituntut harus dapat melihat keduannya dan siap menghadapi keduannya dan siap menjalankan misi kita di dalam kedua ketegangan tersebut. Kita membutuhkan sebuah visi untuk menerobos segala sesuatu yang akan terjadi
Hendrik berkata kita harus mengenali sebuah krisis dalam misi bahkan suatu “impasse” namuan katanya “kita tidak berdiri pada ujung misi”; sebaliknya “kita berdiri pada titik akhir suatu era misi yang pasti dan semakin jelas kita menyedari hal ini dan menerimannya dengan sepenuh hati, semakin baik”. Kita terpanggil untuk “tugas perintisan” yang baru yang akan semakin menuntut dan kurang romantik dibandingkan dengan misi yang lampau.
Namun berbagai Teologi tentang misi yang berbeda-beda itu tidak dengan sendirinya saling menolak yang lainnya, mereka merupakan mosaik aneka warna yang saling melengkapi dan memperkaya serta kerangka-kerangka acuan yang saling menantang. Dari pada berusaha merumuskan satu pandangan tentang misi yang seragam seharusnya kita berusaha menggambarkan wajah dari missiologi jamak di dalam misi versi tunggal.

F.                  Misi: Sebuah Defenisi Sementara
*             Iman Kristen, pada hakikatnya bersifat misionaris. Dimensi iman Kristen bukanlah suatu  pilihan mana suka: kekristenan pada hakikatnya bersifat misionaris, atau menyangkali raison detre-nya sendiri. Iman kristen misalnya memandang semua keturunan di bumi adalah merupakan objek dari kehendak Allah yang menyelamatkan dan rencana keselamatanNya atau dalam istilah perjanjian Baru menganggap bahwa pemerintahan Allah yang telah datang didalam Yesus Kristus di maksudkan untuk seluruh umat manusia. Dimensi iman kristen ini bukanlah suatu pilihan tapi kekristenan pada hakikatnya bersifat misioner.
*             Misiologi sebagai cabang dari disiplin teologi Kristen, bukanlah suatu usaha yang memihak atau netral, tapi sebaliknya misionaris memandang dunia dari perspektif komitmen terhadap iman Kristen. Dari hal ini kita perlu menempatkan misi Kristen pada analisa dan penelitian yang ketat.
*             Misi tidak dapat didefenisikan, misi sekali-kali tidak boleh dipenjarakan dalam batas-batas yang sempit dari prasangka-prasangka kita sendiri.
*             Misi Kristen mengungkapkan hubungan yang dinamis antara Allah dan dunia, khususnya sebagaimana digambarkan dalam kisah umat perjanjian yaitu Israel dan kemudian puncaknya yaitu kelahiran, kematian, kebangkitan dan pemulihan Yesus dari Nazaret. Pengkomunikasian diri Allah di dalam Yesus Kristus.
*             Alkitab tidak boleh diperlakukan sebagai gudang kebenaran yang dari padanya kita dapat mengambil sesuka hati kita. Kitab suci memberikan kepada kita jalan masuk dan member kta cetak biru yang dapat kita gunakan dalam segala situasi. Dan ketahuilah keterlibatan gereja dalam misi tetap merupakan tindakan iman tanpa jaminan-jaminan duniawi.
*             Keseluruhan keberadaan Kristen harus dicirikan sebagai keberadaan missioner. Gereja mulai menjadi missioner bukan melalui pemberitaannya yang universal tentang injil, melainkan melalui universalitas injil yang diberitakannya.
*             Secara teologis “Misi-misi luar negeri” bukanlah suatu keberadaan yang terpisah. Identifikasi dan pembentukan misi-misi luar negeri terletak di dalam universalitas keselamatan dan pemerintahan Kristus yang tidak terbagi-bagi. Perbedaan antar misi dalam dan luar negeri bukanlah suatu perbedaan principal melainkan perbedaan batasan (Scope). Sifat gereja yang misioner tidak hanya tergantung pada dimana gereja menemukan dirinya pada suatu saat tertentu melainkan berakar didalam injil itu sendiri.
*             Kita telah membedakan misi (Tunggal) dan misi-misi (Jamak). Yang pertama dan terutama harus mengacu pada mission Dei (Misi Allah) artinya pernyataan diri Allah sebagai Dia yang mengasihi dunia, keterlibatan Allah dengan dan di dalam dunia, sifat dan kegiatan Allah, yang merangkul Gereja dan Dunia serta dimana Gereja mendapatkan kesempatan istimewa untuk ikut serta.
*             Tugas misi itu sama utuh, luas dan mendalamnya seperti kebutuhan dan tuntutan-tuntutan kehidupan manusia. Manusia hidup dalam serangkaian hubungan yang terintegrasi, sehingga kita dapat menyebut suatu antropologi dan sosiologi palsu bila rohani atau pribadi dipisahkan dari materi dan sosial.
*             Misi mencakup penginjilan sebagai salah satu dimensinya yang esensi. Penginjil adalah pemberitaan injil kepada orang-orang yeng belum percaya kepada-Nya dan membawa mereka kepada pertobatan yang tulus. Sehingga misi adalah jawaban “Ya” Allah kepada dunia, dimana jika kita berbicara tentang Allah maka sudah tersirat dunia sebagai panggung aktifitas Allah.
*             Misi juga jawaban “tidak” oleh Allah kepada dunia. Namun jawaban “tidak” dari Allah kepada dunia tidak menunjukkan dualisme seperti halnya jawaban “ya” oleh Allah tidak menyiaratkan kesinambungan yang tidak terputus antara dunia ini dan pemerintahan Allah.
*             Misi mencakup penginjilan sebagai salah satu dimensinya yang esensial. Penginjilan adalah pemberitaan keselamatan di dalam Kristus kepada mereka yang tidak percaya kepada-Nya, memanggil mereka untuk bertobat dan meninggalkan hidup yang lama, memberitakan pengampunan dosa dan mengundang mereka untuk menjadi  anggota-anggota yang hidup dari komunitas Kristus di bumi dan untuk memulai kehidupan pelayanan kepada orang lain di dalam kuasa Roh Kudus.
II.                BAB I. REFLEKSI TERHADAP PERJANJIAN BARU SEBAGAI DOKUMEN MISI
Bosch mengatakan bahwa Perjanjian Baru harus dipahami sebagai dokumen missioner. Dari Perjanjian Baru misi ditentukan oleh pengetahuan bahwa jam eskatologis telah menyingsing, sambil membawa keselamatan dalam jangkauan semua orang dan membawa keselamatan dalam jangkauan semua orang dan membawanya pada penggenapannya yang terakhir. Suatu telaah yang cermat terhadap Perjanjian baru dan gereja mula-mula mungkin menolong kita untuk semakin jelas memahami misi di masa lampau dan apa artinya di masa kini. Bosch membatasi refleksinya pada matius, Lukas-Kisah para rasul dan kitab-kitab Paulus. Karena itu semua sudah mewakili praktek misi dalam era sekarang ini. Matius, kitab ini memuat mengenai amanat agung yang dapat menjangkau bangsa-bangsa di seluruh dunia. Lukas-Kisah para Rasul, kitab ini memuat pembuktian yang memuat keatuan yang hakiki antara misi Yesus dan misi gereja yang mula-mula. DanSurat-surat Paulus, menceritakan tentang perjalanan misi Rasul kepada orang yang bukan Yahudi.
III.             BAB II. MATIUS MISI SEBAGAI PROSES PEMURIDAN
Bagi Matius, kemuridan misioner menyingkapkan dirinya dalam ketegangan yang kreatif antara kedua penekanan yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang lebih luas pemahamannya tentang misi. Dalam pengembangan paradigma missionernya, Matius adalah orang yang tradisional sekaligus inovatif. Jadi bagi matius menjadi Murid berarti melaksanakan ajaran-ajaran Yesus, yang telah dicatat oleh si penulis Injil secara terinci di dalam Injilnya. Menurut Amanat Agung, Matius tidaklah mungkin melakukan pemuridan tanpa menyuruh mereka mempraktikkan panggilan Allah untuk melakukan keadilan bagi yang miskin. Perintah mengasihi, yang merupakan dasar satu-satunya bagi ketelibatan gereja di dalam politik, adalah bagian yang integral dari perintah misi. Istilah-istilah yang digunakan dalam hubungan ini mencakub sebagai berikut, “mengutus”, “pergi”, “memberikan”, “menyembuhkan”. “mengusir Roh-roh”, “mendamaikan”, “bersaksi”, dan “menjadikan Murid”.
IV.              BAB III. LUKAS-KISAH PARA RASUL MEMPRAKTIKKAN PENGAMPUNAN DAN SOLIDARITAS KAUM MISKIN
Lukas membuat suatu keprihatinan dengan masalah-masalah sosial yagn ditulisnya; dengan roh-roh dan kuasa-kuasa jahat dalam masyarakat abad pertama yang merampas kehormatan dan kepribadian, penglihatan dan suara, serta roti dari kaum perempuan, laki-laki dan anak-anak dan berusaha menguasai hidup mereka demi keuntungan pribadi, dengan egoisme dan perhambaan orang-orang itu sendiri dan dengan janji-janji dan kemungkinan-kemungkinan bagi kaum miskin dan terbuang. Semua yang mengalami penderitaan, dalam pengertian yang sesungguhnya adalah orang miskin. Bahkan ada yang dikatakan Lukas tentang orang kaya dimana digambarkan sebagai orang yang serakah, yang menghisap orang miskin,  yang begitu sibuk mencari uang hingga mereka bahkan tidak mempunyai waktu untuk menerima undangan untuk menghadiri perjamuan (Luk.14: 18). Lukas dengan lugas mengatakan “celakahlah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu, celakalah kamu yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar,  celakalah kamu, yang sekarang tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis.” Perkataan Yesus dicatat oleh Lukas sendiri “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku”
V.                 BAB IV. MISI DALAM PAULUS: UNDANGAN UNTUK BERGABUNG DENGAN KOMUNITAS ESKATOLOGIS
Paulus ketika dipanggil Allah untuk melayani dimulai hendak perjalanan ke Damsyik, karena itu dia telah dipersiapkan sebelumnya. Walaupun Paulus seorang pembantai orang Kristen dulunya, tapi sekrang sangat berbeda karena Paulus telah mengalami pertobatan. Dengan latar belakang pendidikan Paulus yang sangat tinggi sehingga membuatnya menjadi terkenal, ketika dia melakukan misinya. Adapun yang menjadi strategi misi Paulus adalah dengan cara berkhotbah keliling. Contohnya ada ungkapan Paulus dalam sebuah nats menjelang akhir suratnya kepada jemaat di Roma. “namun, karena kasih karunia yang telah dianugerahkan Allah kepadaku, aku disana-sini dengan agak berani telah menulis kepadamu untuk mengingatkan kamu, yaitu bahwa aku boleh menjadi pelayan Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi dalam pelayanan pemberitaan injil Allah, supaya bangsa-bangsa bukan Yahudi dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepadaNya, yang disucikan oleh Roh Kudus. Jadi dalam Kristus aku boleh bermegah tentang pelayananku bagi Allah. sebab aku tidak berani berkata-kata tentang sesuatu yang lain, kecuali tentang apa yang telah dikerjakan Kristus atasku, yaitu untuk memimpin bangsa-bangsa lain kepada ketaatan, oleh perkataan dan perbuatan, oleh kuasa tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh Roh kudus. Demikianlah dalam perjalanan keliling dari Yerusalem sampai ke Ilirikum aku telah memberitakan sepenuhnya injil Kristus. Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak melakukannya di tempat-tempat, dimana-mana Kristus telah dikenal orang, supaya aku membangun tidak diatas dasar, yang telah diletakkan orang lain tetapi sesuai dengan apa yang tertulis “mereka, yang belum pernah menerima berita tentang dia akan melihat dia dan mereka belum pernah mendengarnya akan mengertinya”. Visi missioner Paulus bersifat mendunia, setidak-tidaknya sehubungan dengan dunia yang dikenal olehnya.
Dalam menggambarkan ciri-ciri teologi misi Paulus, kita harus melangkah melampaui apa yang telah disebut sebagai strategi dan motivasi misinya. Apokaliptik sering kali dicirikan oleh tanggapan bahwa masa kini tidak berarti dan bahwa seluruh keselamatan terletak hanya di masa mendatang. Keputusasaan dan kekeceawaan yang dialami orang masa kini mendorong mereka merindukan penebusan total di masa mendatang, yang biasanya dipahami akan segera datang dan dapat diperhitungkan. Adapaun yang menjadi ciri-ciri paradigma misi Paulus adalah:
1.      Gereja sebagai paguyuban baru
2.      Misi kepada orang Yahudi
3.      Misi di dalam konteks kemenangan Allah yanga akan segera datang
4.      Misi dan transformasi masyarakat
5.      Misi dalam kelemahan
6.      Tujuan misi
VI.              BAB V. PERUBAHAN-PERUBAHAN PARADIGMA DALAM MISSIOLOGI
Bosch mengutip pandangan Hans Kung yang mengatakan ada enam paradigma utama tentang sejarah kekristenan antara lain:
1.      Paradigma apokaliptik dari kekristenan pertama
2.      Paradigma helenis dari periode bapa gereja
3.      Paradigma katolik Roma abad pertengahan
4.      Paradigma protestan (reformasi)
5.      Paradigma pecerahan modern
6.      Paradigma oikumenis yang sedang muncul
Bosch mengatakan bahwa bahwa kita tidak dapat menembus ke dalam Injil yang murni tanpa dipengaruhi konteks, budaya, manusiawi dan yang lainnya. Adanya perubahan-perubahan paradigma misi karena berbedanya setiap penafsiran yang dilakukan terhadap Alkitab. Dan penyataan Allah juga berbeda dimana dipengaruhi oleh banyak sekali faktor. Termasuk tradisi gerejawi, konteks pribadinya (jenis kelamin, usia, status perkawinan, pendidikan), kedudukan sosial (kelas sosial, pekerjaan, kekayaan, lingkungan), kepribadian dan budaya (pandangan dunia, budaya dan lain-lain). Secara tradisional kita telah mengenal keberadaan (meskipun mungkin validitasnya tidak) hanya dari faktor yang pertama yakni, perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh tradisi-tradisi gerejawi.
Gereja dalam misinya pada saat ini ditantang oleh beberapa faktor antaralain:
1.      Barat, yang selama ini lebih dari seribu tahun telah menjadi rumah bagi kekristenan dan dalam arti yang sungguh-sungguh diciptakan oleh kekristenan, telah kehilangan posisinya yang dominan di dunia. Orang-orang di semua bagian dunia berjuang demi pembebasan dari apa yang dialami sebagai cekikan Barat.
2.      Struktur-struktur penindasan dan ekploitasi di masa kini di tantang lebih daripada yang sudah-sudah di dalam sejarah umat manusia. Perjuangan-perjuangan melawan rasialisme dan seksisme hanyalah dua dari beberapa perwujudan dari tantangan ini.
3.      Hidup di dunia yang semakin menciut hasil-hasil yang di dapat, dan sumber-sumber yang semakin terbatas.
4.      Kita dimasa kini tidak hanya membunuh bumi Allah tapi juga, sekali lagi untuk pertama kalinya di dalam sejarah mampu menghapuskan umat manusia. Bila penderitaan lingkungan ini menyerukan tanggapan yang secara ekologis tepat, ancaman dari bencana nuklir menantang kita untuk menjawab dengan mengusahakan perdamaian dengan keadilan.
5.      Teologi di barat tidak dapat di klaim bahwa mereka lebih unggul dari pada teologi-teologi yang muncul di dunia lainnya.
6.      Sekarang kebanyakan orang percaya bahwa kebebasan beragama adalah salah sebuah hak asasi manusia yang mendasar. Faktor ini bersama dengan faktor lainnya, memaksa orang kristen untuk mengevaluasi ulang sikap mereka dan pemahaman mereka tentang agama-agama lain.

VII.           BAB VI. PARADIGMA MISI GEREJA TIMUR
Dasar misi gereja timur adalah kasih, maka tujuan misi adalah kehidupan. Seperti kasih kehidupan adalah sebuah thema Yohanes 3:16. Teologi Ortodoks Timur jelas lebih diwarnai oleh tradisi Yohanes daripada trasdisi Paulus. Kristus tidak datang terutama untuk menghapuskan dosa manusia, tetapi untuk memulihkan gambar Allah di dalam diri manusia dan memberikan kehidupan kepadanya. Isi pemberitaannya adalah “firman kehidupan untuk kehidupan”. Dalam hubungan inilah maka ciri khas doktrin Orthodoks theosis mendapatkan makna misinya. Orang dipanggil bukan semata-mata untuk mengenal Kristus, berkumpul di sekelilingNya, atau menaati kehendakNya, mereka terpanggil untuk ikut serta di dalam kemuliaanNya. Dalam kemuliaan yang semakin besar, mendefenisikan  proses yang dengannya orang percaya dikuduskan dalam ke dalam kehidupan sekarang ini sampai parousia. Theosis adalah kesatuan dengan Allah dan bukan pengilahian, ini adalah keadaan pemuliaan, doa, pengucapan syukur, ibdah dan doa syafaat yang sinambung, serta meditasi serta perenungan tentang Allah Tritunggal dan kasih Allah yang tidak terbatas.
Keselamatan atau kehidupan sebagai tujuan misi tidaklah terbatas pada manusia. Ia mempunyai dimensi kosmis. Bukan hanya untuk manusia tapi juga seluruh alam “ikut serta dalam pemulihan ini dan menemukan kemabali orientasinya dalam memuliakan Allah”. Salib menguduskan seluruh alam. Allah tidak hanya mendamaikan individu tapi juga dunia, kepada diriNya (2 Kor 5: 19) bahkan juga kuasa-kuasa alam (Kol. 1:20). Seluruh ciptaan berada dalam proses menjadi ekklesia, bahkan ada suatu pengharapan yang eskatologis.
VIII.        BAB VII. PARADIGMA MISI KATOLIK ROMA ABAD PERTENGAHAN
Paradigma misi katolik pada abad pertengahan dimulai dengan suatu pertikaian antara Augustinus dengan kaum Donatis. Di situ ia mengajukan pendapat bahwa teks ini berarti bahwa kaum Donatis harus dipaksa untuk kembali ke kawanan katolik. Dalam perjalanan abad pertengahan teks ini kemudian diberlakukan pula pada pertobatan paksa (atau sekurang-kurangnya pada baptisan) terhadap orang-orang kafir dan Yahudi. Bahkan meskipun Lukas 14:23 tidak lagi dijadikan dasar secara eksplisit, gagasan semacam itu hadir dan bekerja. Bahwa mentalitas ini mendominasi pemikiran misi selama berabad-abad dikukuhkan bahkan sampai abad ke-16 ketika Las Casas ditantang oleh lawan-lawannya karena pendekatan misinya yang lembut dan tidak memaksa untuk menjelaskan bagaimana ia menafsirkan Lukas 14:23 Compellere Intrare(paksalah orang-orang masuk), ia menjawab tidak mengacu kepada kekerasan, tapi bujukan: orang-orang Indian harus digerakkan oleh pemberitaan Firman agar mereka memeluk iman, dan bukan ibaratnya dengan todongan senjata. Pada abad pertenganhan paradigma Misi yang dilakukan oleh Roma Katolik dengan sebuah semboyan “ektra ekklesiam nulla sallus” tidak ada keselamatan di luar gereja katolik Roma. Bosch dalam akhir bab ini mengatakan bahwa paradigma misi katolik saat ini sama sekali berbeda dengan paradigma tradisional.  
Apabila kita berbicara tetang misi, maka ada beberapa hal yang dapat kita singgung. Misalnya adalah, apa itu misi, metode-metodenya, model-modelnya dan tujuan-tujuan misi itu sendiri. Jika kita membandingkan kekhasan dari beberapa hal tentang misi di atas antara periode waktu yang dialami oleh Pater Le Cocq dan periode sesudah Konsili Vatikan II kita akan menemukan banyak nuansa yang berbeda.
Boleh dikata, paradigma misi yang dialami atau dikerjakan oleh Pater Le Cocq dan sahabat-sahabatnya waktu itu adalah paradigma misi yang berdasarkan paham misi tradisional. Paham misi tradisional itu sendiri memiliki konsep dan ciri tertentu. Misalnya saja, pertama, misi dipahami sebagai usaha Gereja yang dilaksanakan di luar Eropa, yang berada di bahwa wewenang dan tanggung jawab Paus. Kedua, paus mengirim para misionaris sebagai petugas-petugas yang bertanggung jawab atas misi ke wilayah-wilayah bukan Kristen di seluruh dinia. Ketiga, para utusan ini terutama para biarawan-biarawati dan para imam, yang pekerjaanya sebagai misionaris mengambil alih satu wilayah tertentu dari Kongregasi Propoganda Fide. Wilayah ini lalu menjadi tempat, dimana mereka dapat melaksanakan karya misi. Keempat, orang-orang yang kepadanya karya misi itu dituukan atau dialamatkan yakni orang-orang kafir di seberang lautan. Kelima, misi bertujuan untuk menobatkan dan mempermandikan orang-orang kafir. Dan keenam, motivasi utama misi di antara orang-orang kafir adalah untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dan menyebarluaskan Gereja. 
Dari ciri dan konsep di atas, ciri kelima dan keenam kelihatan paling jelas mewarnai gaya misi yang dilakukan oleh Pater Le Cocq. Maka tidak mengherankan, ketika pada saat-saat awal ia tiba di Pulau Cendrawasih, misalnya, dengan semangat dan insting misionarisnya, Pater Le Cocq berusaha untuk mencari orang untuk dipermandikan dan sedapat mungkin diperkenalkan dengan ajaran Kristiani. Tidak segan-segan Pater Le Cocq berjalan sendirian menyusuri tempat-tempat terpencil dan bermedan sulit untuk menemukan siapa saja untuk dibabtis. Kendati ada banyak kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, Pater Le Cocq tetap melakukan perjalananya. Kabar mengerikan bahwa orang-orang Papua seringkali suka memakan daging manusia tidak menjadi alasan bagi Pater Le Cocq untuk mengurungkan niatnya.
Tepat sebulan setelah Pater Le Cocq tiba di daerah Sekeru ia menulis sepucuk surat, yang sebagiannya dipublikasikan dalam majalah Berichten uit Nederlandsch Oost-Indie, yaitu : "Pada sore hari tanggal 22 Mei aku mendarat. Hari berikutnya, yaitu pada pesta Beato Andreas Bobola, aku pergi ke pedalaman, lalu beruntung aku pada hari itu membabtis 8 anak; selama 10 hari aku tinggal di sana dan membabtis 73 anak. Orang-orang penduduk bersemangat baik; mereka mau menjadi orang Kristiani dan ingin diberi pelajaran. Mereka menyesal bahwa aku tidak tinggal lebih lama dan memaksa aku berjanji datang kembali secepat mungkin ‘’. Apabila kita membaca cerita semacam itu dengan menggunakan kacamata jaman sekarang mungkin kita akan mengerutkan dahi. Baru satu hari di Irian, Pater Le Cocq sudah membabtis 8 anak, disusul 65 lagi selama 9 hari. Tindakan semacam itu kiranya hanya dapat dimengerti dalam konteks teologi saat itu. Oleh banyak orang pada waktu itu, sakramen Babtis dianggap mutlak perlu untuk mencapai surga.
Paradigma pengertian dan konsep misi pada masa itu memang memiliki kekhasan yang berbeda dibandingkan dengan pengertian dan tugas misi setelah  Konsili Vatikan II. Oleh kerena itu tidaklah mengherankan bahwa para misionaris pada waktu itu, juga termasuk Pater Le Cocq begitu bersemangat untuk dapat membabtis sebanyak mungkin orang agar jiwa mereka dapat diselamatkan.
Akhirnya, bagi Pater Le Cocq kegiatan misi dan segala duka gembiranya perlu terus dilakukan meski diwarnai dengan perbagai macam pergumulan. Maka tidak mengherankan bahwa semangat Pater untuk terus menjalankan misinya degan jiwa yang besar terus berkobar. Hal itu ditandai dengan ketidaktakutanya menyongsong segala bentuk kemungkinan buruk bahkan kendati kematian pun yang dihadapi. Semangat semacam itu ditunjukkan dengan jelas pada saat masa-masa akhir hidup hidup Pater Le Cocq.
IX.              BAB VIII. PARADIGMA MISI REFORMASI PROTESTAN
Orang yang menjadi katalis dalam memperkenalkan paradigma yang baru adalah Marthin Luther. Untuk menghargai sumbangan unik reformasi protestan terhadap pemahaman tentang misi, penting kita menyoroti bidang-bidang yang berbeda dengan katolik. Kini saya akan berpaling pada hal tersebut sambil mengidentifikasikan lima ciri yang mungkin menolong kita untuk melihat kontur-kontur “teologi protestan tentang misi” ciri-ciri yang akan ditemukan dalam sebuah perwujudan  protestan abad ke 16 Lutheran, Calvinis, Zwinglian, maupun Anabaptis.
1.      Sama sekali tidak diragukan bahwa bagi reformasi Protestan pasal pembenaran oleh iman adalah titik tolak teologi.
2.      Yang terkait dengan sentralitas kebenaran adalah pandanga bahwa manusia terutama sekali harus dilihat dari persfektif kejatuhan kedalam dosa, sebagai ciptaan baru yang tersesat, tidak mampu melakukan apa pun tentang kondisi mereka.
3.      Reformasi menekankan dimensi subyektif keselamatan
4.      Penegasan peranan dan tanggungjawab pribadi individu menyebabkan penemuan kembali ajaran tentang imamat am orang percaya.
5.      Gagasan protestan diungkapkan dalam sentralitas kitab suci, dalam kehidupan gereja.
Kelima ciri utama protestanisme ini, yang terhadapnya beberapa ciri lain dapat pula ditambahkan, mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi pemahaman dan perkembangan misi baik positif maupun negtif. Tapi yang terpenting bahwa Luther khususnya harus dianggap sebagai pemikir misi yang kreatif dan orisinal dan kita harus membiarkan diri kita membaca Alkitab melalui mata Marthin Luther sang misolog. Malah terhadapa usaha misi gereja ia memberikan pedoman-pedoman dan usaha-usaha prinsip yang jelas. Titik tolak teologi para reformator bukanlah apa yang harus atau dpat dilakukan Allah dalam Yesus Kristus. Ia mengunjungi bangsa-bangsa di dunia dengan terangNya; Ia melanjutkan firmanNya sehingga firman itu dapat dengan cepat berlari dan meningkat sampai hari terakhir menyingsing. Orang dapat mengatakan bahwa bahwa Injil ini sendirilah yang memisikan dan dalam proses ini memanggil umat manusia.
X.                 BAB IX. MISI PADA AWAL ZAMAN PENCERAHAN
Pencerahan adalah zaman penalaran, dimana ada ungkapan Descartes mengatakan Cogito Ergo Sum(saya ada ketika saya berfikir), ini merupakan salah satu aliran filsafat eksistensialisme. Penalaran manusia itu alamiah, artinya diperoleh dari tatanan alam dan oleh karenanya bebas dari segala norma tradisi ataupun praduga. Dalam abad pencerahan semua dilakukan serba mesin, dimana derajat manusia dapat diturunkan sejajar dengan mesin, dimanipulassikan, dieksploitasi, oleh mereka yang mau menggunakannya untuk maksud-maksud mereka. Baik kapitalisme maupun marxisme, kata Newbigin. Mendapatkan visi pencerahan tentang manusia sebagai individu yang otonom tanpa acuan-acuan adikodrati. Sejak zaman pencerahan cara rasionalitas yang berbeda mulai berkuasa, nalar menggantikan iman sebagai titik tolak. Teologi dapat dibandingkan dengan disiplin-disiplin lain, dan para ilmuan sulit untuk memberi tempat atau ruang bagi Allah di dalam sistem-sistem mereka.
Dalam kegiatan misioner “kasih” merupakan hal yang sangat insentif sebagai ungkapan syukur bagi Allah yang mengasihi dunia, hingga Ia mengaruniakan AnakNya yang tunggal. Kasih ini bersama-sama dengan keinginan untuk mengembangkan keuntungan  rohani orang-orang lain dan secara perlahan-lahan menjadi motif yang dominan. Diantara orang-orang kristen yang tersentuh oleh kebangkitan, ada suatu perasaan syukur yang sangat mendalam atas apa yang telah mereka terima dan keinginan yang mendesak untuk membagikannya dengan orang lain. Di dalam misi pada awal pencerahan ini injil dan kebudayaan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan walaupun terkadang memang kebudayaan itu tidak selamanya menjamin tapi hal itu sudah cukup membantu dalam hal bermisi. Gerakan misi memberikan suatu sumbangan utama dalam menghapuskan perbudakan, menyebarkan metode-metode pertanian yang lebih baik, mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah yang tidak terbilang jumlahnya, memberikan pemeliharaan medis kepada jutaan orang, mengangkat status kaum perempuan, menciptakan ikatan diantara bangsa-bangsa dari antara negara yang tidak dapat diputuskan oleh perang, melatih suatu lapisan penting pemimpin dari suatu bangsa yang kini baru merdeka.
Gerakan misi yang lahir telah melahirkan sikap toleransi kepada segala bangsa dan suatu sikap yang relativistik terhadap keyakinan apapun. Pada pihak lain hal ini melahirkan perasaan keunggulan dan perasangka barat. Tapi kita tidak mungkin memisahkan perasaan-perasaan ini dimana toleransi maupun intoleransi serta relativisme maupun fanatisme sering kali ditemukan berdampingan dalam diri orang atau kelompok yang sama. Bosch pada akhir bab ini mengatakan bahwa iman kristen pada hakekatnya bersifat misioner. Tetapi mereka harus siap untuk merefisi teologi dan praktek misi untuk menggeser paradigma misiologis. Bahkan suatu transformasi total sangat dibuterbuhkan, bentuk-bentuk misi tradisional menjadi tanggapan bagi dunia yang tidak lagi ada maupun sebenarnya kita tidak perlu menyangkal tanggapan misi yang tradisional itu karena kita ditantang dalam cara yang sangat berbeda. Satu-satunya pemecahan yang pada akhirnya efektif pada kelesuan misi yang meluas sekarang ini, yang kadang-kadang tersembunyi dari mata kita karena kita terbuai oleh apa yang kelihatannya sukses bagi misi kita tapi yang sangat diperlukan adalah suatu transformasi radikal bagi keseluruhan kehidupan gereja.
XI.              BAB X. MUNCULNYA PARADIGMA PASCA-MODERN
Munculnya paradigma pasca modern karena pergeseran paradigma, dimana suatu masa ketidakpastian yang mendalam, seperti tampaknya adalah salah satu dari beberapa konstanta dari zaman kontemporer dan salah satu faktor yang melahirkan reaksi-reaksi kuat yang lebih suka bepegang pada paradigma pencerahan, meskipun terdapat tanda-tanda dari segala penjuru bahwa paradigma tersebut sedang runtuh. Bahkan setelah muncul suatu zaman yang selalu mengagungkan penalaran. Tapi pada saat ini telah berbeda dimana sudah ada tanggapan  yang mengatakan bahwa dunia akan berubah menjadi semakin baik sampai hadirnya kerajaan Allah di bumi. Bahkan dengan pergeseran radikal dari teologi yang nono-eskatologis kepada yang eskatologis. Begitu juga dengan pemahaman tentang pertobatan dan perubahan agama, tentang visi dan tanggung jawab, tentang revisi terhadap realitas-realitas dan posisi-posisi yang sebelumnya, yang telah lama ditelan oleh logika yang mencekik dari pemikiran sebab akibat yang kaku, telah muncul kembali dan mengilhami mereka yang telah lama kehilangan semua harapan pada saat yang sama memberikan suatu relevansi baru kepada misi kristen.
XII.           BAB XI. MISI DALAM MASA PERCOBAAN
Tidak dapat dijamin bahwa gereja dan teologi dan misi kristena kan aman selamanya, hal ini dapat dilihat dari pengalaman sebelumnya dimana ketika masa pencerahan yang selalu menalarkan firman dan bahakan tidak lagi melihat apa yang menjadi esensi dari firman itu.  Tapi sekarang tugas untuk bermisi harus dilakukan, walaupun itu sangat sulit dan bahkan sampai merasakan sengatan nyamuk, tapai semua orang harus mendengarkan Injil keselamatan dari pada Tuhan. Karena itu para pekabar Injil perlu mengganti metode pekabaran Injil tersebut supaya dapat membendung setiap paradigma-paradigma yang muncul, yaitu paradigma yang kurang dalam mengembangkan pekabran Injil.
XIII.        BAB XII. UNSUR-UNSUR PARADIGMA MISI OIKUMENIS YANG SEDANG MUNCUL
Dalam sebuah studi yang tajam Avery Dulles (1976) mengidentifikasikan lima tipe utama gereja. Gereja, katanya dapat dipandang sebgai lembaga, sebagai tubuh yang mistis dari Kristus, sebagai sakramen, sebagai bentara, atau sebagai hamba. Masing-masing dari tipe ini menyiratkan penafsiran yang berbeda tentang hubungan antara gereja dan misi. Karena itu ada beberapa paradigma misi oikumenis yang amuncul antara lain; paradigma yang mengatakan bahwa umat Allah yang berziarah, gereja adalah peziarah bukan semata-mata karena alasan praktis bahwa dalam zaman modern ia tidak dapat lagi menjadi penentu arah dan dimana-dimana menemukan dirinya dalam situasi diaspora, sebaliknya menjadi pejiarah di dalam dunia pada hakekatnya tergolong pada posisi gereja yang eks-sentris. Ia adalah ekklesia yang dipanggil keluar dari dunia, dan diutus kembali kedunia. Sifat asing adalah unsur dari pembentukannya.  Sakramen tanda dan alat,penerimaan yang luar biasa luas terhadap penggunaan ekklesiologis istilah-istilah sakramen, tanda dan alatdalam perdebatan oikumenis menunjukkan bahwa istilah ini ternyata menolong dalam menggambarkan tempat dan panggilan gereja dan keesaannya dalam rencana keselamatan Allah.
Dalam unsur-unsur ini juga harus ditekankan bahwa missi itu adalah sebagai missio dei, hal ini dianggap lebih universal daripada harus melakukan misi yang eklesiosentris. Bosch juga mengatakan bahwa misi itu sebagai perantara keselamatan. Artinya misi adalah perintah Allah dan untuk itu harus dapat diperdengarkan oleh orang lain, supaya orang lain itu selamat. Tugas mengidentifikasikan maksud penyelamatan Allah di tengah-tengah peristiwa sejarah menurut kriteria teologis yang mantap, yang dengan penilaian-penilaian kritis yang dibuat. Disini masih terdapat tugas yang sangat penting yang harus dilaksanakan untuk memastikan bahwa kredibilitas gereja tidak akan lenyap lagi dalam perburuan relevansi yang berumur pendek. Dalam hal oikumenis ini misi tidak hanya diarahkan kepada pelayanan ilahi di dalam gereja saja, tetapi juga pada pelayanan Ilahi dalam kehidupan dunia sehari-hari. Penerapan praktisnya akan mencakup pemberitaan dan ibadah, tugas-tugas penggemabalaan, dan peguyuban Kristen, tetapi juga sosialisasi, demokratisasi, pendidikan menuju kemandirian dan kehidupan politik. Misi yang bersifat oikumenis ini harus dapat menjangkau agama-agama dan yang berkepercayaan lain dengan melakukan misi yang berisi tentang pengharapan, dan pengharapan itu yang dapat menghantar kita untuk setia dalam pelayanan. Dan pengharapan yang dimaksudkan adalah pengharapan yang bersifat eskatologis, kita juga harus bersifat rendah hati untuk dapat mewujudkan missio dei tersebut.
XIV.        BAB XIII. MISI DALAM BERBAGAI CARA, APAKAH SEMUANYA MISI ITU?
Gereja dalam misinya harus dapat mewartakan enam hal yakni, penjelmaan Kristus,  kematianNya pada salib, kebagkitanNya pada hari yang ketiga, kenaikanNya, pencurahan Roh Kudus pada hari pentakosta dan parousia. Misi yang harus dilakukan adalah misi yang membawa orang kepada terang Kristus. Misi itu adalah misso dei dan gereja harus berusaha meletakkan ini sebagi dasar misinya. Tapi perlu harus digarisbawahi bukan gereja yang mengusahakan misi, melainkan missio dei itu yangmencipatakan gereja. Misi gereja harus terus meneruss diperbaharui dan  dipikirkan kembali. Misi bukan persaingan dengan agama lain, bukan suatu kegiatan pentobatan, bukan perluasan iman, bukan pembangunan Kerajaan Allah; misi bukan pula kegiatan sosial ekonomi atau politik. Namun, ada yang baik dari semua hal itu, yang diperhatikan gereja adalah pertobatan, pertumbuhan gereja, pemerintahan Allah,  ekonomi, masyarakat dan politik tapi dalam pengertian yang berbeda. Missio dei itu memurnikan gereja. Misi tersebut meletakkan gereja pada salib, satu-satunya tempat dimana gereja akan selalu aman. Salib adalah tempat bagi kerendahan hati dan penghakiman, tetapi juga tempat penyegaran dan kelahiran kembali. Maka karena itu misi orang kristen dilihat dari misi pembebasan Yesus, yang mempertaruhkan hidupNya. Ini adalah kabar baik kasih Allah, yang menjelma dalam kesaksian suatu peguyuban demi dunia.

XV.           KRITIK DAN SARAN
Buku ini memang bagus untuk dibaca tapi karena perlu perevisian ulang, mungkin karena terjemahan itu sehingga membuat kata-kata yang terdapat di dalamnya sukar dipahami oleh peresensi, bahkan masih terdapat kata-kata yang salah pengetikan. Tapi peresensi mengapresiasi buku ini karena buku ini telah mengulas bagaimana transformasi misi mulai dari hal yang tradisional sampai kepada pasca-modern. Dan yang menjadi saran dari peresensi adalah perlu untuk merevisi kembali buku ini supaya pembaca berikutnya memahami dan langsung dapat menangkap isi dari buku ini. Sekian dan terimakasih. Soli Deo Gloria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar